Teringat perbincangan antar guru di pertengahan bulan Maret. Seorang guru yang displin dan tegas berpendapat, tugas siswa harus segera dishare ke guru pengampu mapel tepat jam 12.00 WIB. Supaya siswa tidak menunda-nunda waktu mengerjakan. Karena jika waktu terlalu longgar, diprediksi siswa lebih asyik bermain gadget. Tugas diabaikan. Orang tua akan memperpanjang meminjamkan gadget, untuk ngegame. Tugas nanti-nanti aja toh Ustadz dan Ustadzah, memberi batas waktu mengirim tugas sampai malam. Berbagai argumentasi yang sejatinya ada benarnya. Dan Gurupun harus beristirahat. Tidak hanya konsentrasi dengan Hpnya. Mengistirahatkan matanya yang mulai lelah terkena radiasi Hp. Kepalanya yang mulai migren terkena paparan elektromagnetik HP. Bisa jadi gurupun harus fokus mendampingi putra-putrinya sendiri yang juga SFH (Study For Home).
Namun yang perlu di cermati adalah tingkat kesiapan orang tua dalam mendampingi putra putrinya. Padahal banyak para wali murid yang melakukan WFO (Work For Office). Di antara mereka ada berangkat pukul 07.00 WIB dan pulang sampai sampai jam 16.00 WIB. Inilah realita yang sesungguhnya. Para pegawai dan karyawan yang berada di garda depan dalam penanganan covid-19. Mereka yang bekerja di pasar besar. Para penjual makanan pokok yang berangkat subuh pulang sore. Mereka terpaksa meninggalkan buah hatinya demi mengemban tugas sebagai abdi masyarakat. Dan para pejuang ekonomi keluarga.
Untuk itu guru harus lebih membuka hati. Berkenan melihat realita berdasarkan hasil survey di atas. Mereka yang siap pembelajaran online dilakukan tepat waktu, cukup tinggi. Yakni 70,2 %, setuju pembelajaran online dan pengiriman tugas terakhir sekitar pukul 12.00 WIB. Kemungkinan mereka adalah ibu rumah tangga sejati. Yang memiliki waktu mendampingi putra-putrinya di waktu pagi sampai siang. Bisa jadi mereka memiliki usaha di rumah, pedagang online yang mampu bekerja sambil mendampingi putra-putrinya. Pun ada kemungkinan para pegawai garda depan namun ada saudara, tetangga bahkan guru les privat yang siap mendampingi putra-putrinya dalam belajar.
Para wali murid yang ragu-ragu, sejumlah 17,3%. Pada umumnya, para wali tak begitu yakin dapat mengirim tugas tepat waktu. Karena putranya yang cukup sulit mengerjakan tugas sesuai jadwal. Anak yang hiperaktif. Anak yang pintar berkilah. Ketika dibimbing belajar oleh bapak/ibunya pamit ambil minum, alasan lapar ngasih makan kucing, dan lain-lain. Kalau dipaksa bisa jadi malah mogok. Kemungkinan lain Si Bungsu rewel menggaggu kakak yang belajar daring. Ataupun orang tua yang bekerja di luar rumah, karena jalan yang sering macet. Bagi pekerja paroh waktu, kadang ada tugas yang mendadak dari atasan sehingga tidak bisa pulang jam 10.00 WIB. Dan bermacam-macam kerumitan hidup yang di alami mereka. Para wali murid butuh kelonggaran waktu.
Sedangkan wali murid yang belum siap sebanyak 12,5%. Mereka adalah para wali murid yang bekerja sebagai ASN, Karyawan perusahaan yang jam bekerjanya super ketat. Bisa jadi mereka adalah wali yang sangat protektif. Putra-putrinya di rawat nenek/budenya. Namun, masalah belajar. Hanya ingin orang tuanya yang memberi bimbingan secara intensif ketika belajar dari rumah. Mereka inilah yang selalu dengan tegas dan terus terang meminta kelonggaran waktu sampai pukul 20.00 WIB. Yang luar biasa itu jika ada ustadz dan ustadzah yang berkenan memberi kelonggaran waktu sampai pukul 21.00 WIB. Para guru yang tangguh. Masih ontime mendampingi siswa-siswinya sepanjang hari.
Sejatinya yang terpenting adanya kontrak politik. Semacam kesepakatan antara guru dan wali murid. Jam berapakah wali murid sepakat terakhir mengirimkan tugas? Dan para guru inipun perlu diberi subsidi kuota internet. Agar merekapun terbantu secara finansial. Kelelahan mereka sedikit ringan. Namun jika tidak, kemungkinan guru sampai pada titik jenuh. Karena honor mereka yang di bawah UMR , habis untuk beli kuota internet. Belum lagi komplain dari pasangannya. Sudah waktu merawat anak, masih asyik pegang hp.