*Al-QUr’an Melarang Pembunuhan Karakter*
(sumber: Memahami Al-Qur’an di Masa Post-Truth, _Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M. A._ – 2021- disalin oleh Aswil Nazir)
Al-QUr’an sangat mencela fitnah dan berbagai karakter semacamnya. Kita sulit membayangkan bagaimana Indonesia yang berpenduduk muslim terbesar dan sering disanjung sebagai manusia yang sangat santun, tetapi setiap hari kita membaca viral pembunuhan karakter. Kita sering mempertanyakan bagaimana posisi nilai-nilai agama dan adat istadat Indonesia yang dikenal sebagai negeri berpenduduk santun. Apakah sedang terjadi perubahan sosial begitu dahsyat di dalam masyarakat sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama nilai-nilai luhur agama dan budaya ditinggalkan atau ditenggelamkan oleh kepentingan pragmatis sesaat?
Pembunuhan karakter masih akan terus menjadi pemandangan lumrah, bahkan mungkin di masa depan akan lebih berkembang lagi, baik kualitas maupun kuantitasnya, seiring perkembangan sains dan teknologi. Tantangan kita sekarang adalah bagaimana menyiapkan masa depan umat yang bebas dari cara-cara picik dan pengecut lain seperti membunuh karakter seseorang. Membunuh secara biologis langsung dapat hukuman tetapi membunuh karakter bisa terbebas dari hukuman fisik, meskipun dosanya di mata Tuhan sama-sama berat. Dalam Al-Qur’an dijelaskan,
_”Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”_ (QS. al-Ma’idah: 32).
Ayat-ayat tersebut di atas menegaskan betapa dahsyatnya pembunuhan itu, sehingga digambarkan membunuh seorang anak manusia sama dengan membunuh semua manusia. Namun ternyata masih ada yang lebih dahsyat lagi yaitu fitnah. Memfitnah orang digambarkan lebih keji daripada pembunuhan. Ini bisa dimaklumi jika membunuh seseorang secara fisik hanya sekali menderita, itu pun hanya sesaat. Namun jika memfitnah seseorang bisa menyebabkan seseorang mati berkali-kali dan seluruh keluarga dan anggota komunitas yang difitnah seperti anak, istri atau suami, dan orang tua yang difitnah ikut juga “terbunuh”.
Kisah percobaan pembunuhan yang pernah dilakukan terhadap Nabi Yusuf, seorang anak bungsu dari tujuh bersaudara, menjadi pelajaran penting bagi kita. Sebagai anak bungsu wajar kalau mendapatkan cinta khusus dari orang tua. Namun perlakuan seperti itu tidak diterima saudara-saudaranya. Akhirnya muncul niat jahat dari saudaranya yang diprakarsai oleh kakak sulungnya Bernama Bunyamin. Berbagai cara digunakan untuk meraih cinta ayahnya, termasuk upaya membunuh karakter adiknya, namun cinta sang ayah terhadap Yusuf tetap tak terpatahkan. Akhirnya, akal bulus dirancang untuk membunuh secara fisik adiknya. Mereka meminta izin kepada ayahnya untuk mengajak Yusuf bermain, dan di suatu tempat ia menceburkan adiknya ke dasar telaga dalam. Untuk mengelabui ayahnya, ia mengolesi darah kambing di pakaian adiknya yang sebelumnya sudah dicabik-cabik. Mereka menyampaikan penyesalan mendalam karena tidak mampu mempertahankan adiknya dari terkaman serigala buas. Saudara-saudara Nabi Yusuf tidak pernah membayangkan sebuah sandiwara kehidupan di atas panggung bumi Tuhan, bahwa adik mereka, Yusuf menjadi raja tenar dan adil di Mesr. Mereka tidak pernah menyangka jika yang akan menjadi dewa peolongnya di kemudian hari ialah adik paling dibencinya.
Jika saudara-saudaranya pernah berusaha membunuh karakter adiknya maka sang adik berusaha untuk menghidupkan kembali karakter kakak-kakaknya. Kita tidak cukup hanya mencontoh Nabi Yusuf tetapi kita juga harus mampu membunuh potensi karakter saudara-saudara Yusuf di dalam diri kita. Yusuf dan saudara-saudaranya adalah simbol dari dua karakter yang saling mengintai satu sama lain. Yusuf dilambangkan sebagai pemuda tampan, berbudi pekerti luhur, jujur dan penuh kasih sayang. Sedangkan saudara-saudara Yusuf merupakan jumlah yang lebih besar, memiliki karakter pembunuh, dan kering dengan rasa kasih sayang. Kisah ini mengajak kita utuk mencontoh Nabi Yusuf dan menjauhi saudara-saudaranya. Jauhi pembunuhan karakter orang lain jika tidak ingin karakternya dibunuh orang lain, dan kita tidak boleh melupakan penegasan ayat,
_”Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.”_ (QS. al-Baqarah: 217).
01.03.2022/lfh
www.lydiafreyanihawadi.com