*ASAH ILMU DENGAN AMAL*
_Oleh Much. Khoiri_
Sebagaimana pisau perlu diasah untuk menjadikannya tajam, ilmu perlu diasah agar menjadi “tajam” dan “manjing” (merasuk) ke dalam si empunya ilmu. Mengasahnya dengan apa? Tidak lain dan tidak bukan: dengan amal (laku, perbuatan).
Setajam apa pun sebuah pisau (yang telah dibeli dari penjualnya), ia tidak awet ketajamannya jika jarang atau tidak pernah diasah. Demikian pun, sehebat apa pun ilmu yang diperoleh seorang santri atau murid dari sang guru, ia akan kehilangan kehebatannya jika tidak diamalkan. Bahkan, sepanjang tidak diamalkan, ilmu hanya ibarat gelas tanpa isi, atau ibarat benih yang tidak pernah ditanam. Ilmu itu tidak merasuk ke dalam pemiliknya.
Orang punya ilmu tentang pentingnya sedekah, misalnya, bahwa sedekah adalah amal mulia yang selain berdimensi ukhrawiyah (karena menunaikan perintah Tuhan), juga berdimensi sosial (karena membantu orang lain). Ilmu orang itu tentang sedekah tidak pernah ada gunanya sepanjang dia tidak melakukan amal atau laku bersedekah kepada sesame. Ilmu sedekahnya kosong, tanpa membuahkan hasil, karena memang tidak ditanam dan dirawat.
Orang tahu bahwa shalat itu wajib bagi setiap muslim. Orang itu akan memetik buah manfaatnya dari shalat tersebut jika dia menunaikan shalat dengan khusyu dan istiqamah. Sebaliknya, meski dia “alim” dalam syariah shalat, jika tidak mengamalkannya, tiada hikmah manfaat yang bakal diperolehnya.
Dua ilustrasi di atas hanya ilustrasi untuk menggambarkan betapa ilmu menulis juga harus diasah dengan “amal” menulis. Ilmu (teori) menulis penting, namun pengamalannya jauh lebih penting. Dalam kalimat lain, teori penting, latihan wajib dilakukan. Tanpa latihan, teori menulis ibarat gelas yang kosong atau ibarat benih yang tidak pernah ditanam atau ibarat pisau yang tak pernah diasah.
Maka, mari asah ilmu menulis dengan amal menulis. Karena ilmu menulis itu sendiri luas—mulai tataran ide/gagasan, pengorganisasian ide/gagasan, hingga penggunaan bahasa–, maka seluas itu pula kita perlu mempraktikkannya dengan sebaik-baiknya. Semakin luas amal menulis yang kita jalani, semakin dalam “manjing”-nya (merasuknya) ilmu dan ketrampilan menulis dalam diri kita.
Oleh sebab itu, banyak motivator kepenulisan menyarankan penulis (pemula) untuk menulis setiap hari. Untuk apa? Ya membiasakan diri untuk mengamalkan ilmu menulis. Mungkin penulis (pemula) diminta untuk menulis dengan gaya bebas (free writing), agar menemukan kenyamaman sebagaimana dia berbicara kepada sesamnya. Seiring berjalannya waktu, amat mungkin pula, gaya bebas itu memang menjadi _ars poetica_ penulis itu—menjadi “hak paten” gaya kepenulisan yang telah menyatu dengannya.
Dalam mengamalkan teori (ilmu) menulis, secara individual, orang akan menemukan ilmu-ilmu baru yang khas melekati si pengamal ilmu menulis. Dia akan belajar lagi bagaimana menentukan ide paling unik yang layak ditulis untuk koran, misalnya, termasuk bagaimana mengemasnya dan bagaimana bahasa ciamik (keren) digunakannya.
Dengan kata lain, pengalaman unik yang diperoleh seseorang selama mengamalkan teori (ilmu) menulis akan berkembang dan dikembangkan di dalam dirinya. Pada gilirannya, dia akan mampu mensitesiskan teori (ilmu) menulis baru yang siap dibagikan kepada orang lain. Inilah bukti manjingnya ilmu menyebabkan seseorang memanen buah ilmunya—yang bisa disuguhkan untuk pemburu ilmu setelahnya.
Maka, tak perlu ragu, mari kembali ke hakikat kepenulisan yang sesungguhnya: Mengasah ilmu dengan mengamalkannya. Memburu ilmu menulis sangat penting agar tahu apa yang harus dilakukan, namun mengamalkannya lewat serangkaian latihan adalah wajib adanya. Itu.!
_Driyorejo, 25/9/2020_
- _*Much. Khoiri adalah dosen, penggerak literasi, editor, dan penulis buku dari Unesa Surabaya. Tulisan ini pendapat pribadi._
Maaf untuk Asah ilmu dengan amal komen dimana? Terima kasih banyak 👋