Kemenangan atau Ketenangan?
Oleh Saunir Saun
Kemenangan dan ketenangan adalah 2 dari banyak hal yang diinginkan manusia. Kemenangan itu menyenangkan karena si pemenang merasa menjadi orang terhebat dalam kelompoknya.
Kemenangan sering, dan bahkan hampir selalu, membuat orang yang menang itu berubah tingkah walaupun seketika, yaitu ketika kemenangan itu baru saja didapatnya. Namun, ada juga yang berlanjut perubahan sikap itu.
Pada orang-orang tertentu pula, kemenangan itu dapat pula membuat dirinya “meningkatkan” status menjadi sombong berlama-lamaan sampai ada pula orang lain yang menjadi pemenang baru. Giliran dia pula yang menjadi “orang kalah”.
Kalau apa yang dalam kehidupan kita diperhatikan dengan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap hakikat sesuatu yang digunakan menjadi patokan “menang” atau “kalah” tidaklah terlalu signifikan dalam kelompok itu.
Marilah perhatikan, umpamanya, seorang anak sekolah (atau apapun istilah Anda untuk ini) yang menjadi juara kelas atau pun juara umum di sekolahnya tidaklah berarti dia menjadi orang yang menang secara signifikan mutlak sehingga dia menjadi orang luar biasa.
Kenapa?
Alasannya, seperti biasanya, nilai yang menjadi patokan sekolah yang dia peroleh tidaklah nilai yang jauh meninggalkan temannya yang menjadi pemenang nomor dua.
Dalam umpama yang dicontohkan di atas, sering pemenang kelas atau sekolah itu hanya sedikit saja nilainya di atas temannya yang pemenang nomor dua tadi. Sering kasus dalam hal ini menunjukkan perbedaan dengan nilai 1 (satu) saja dan, bahkan di bawah 1, seperti 0,5, dsb.
Jadi, begitu pulalah hal-hal lain pada aspek kehidupan kita yang lain, seperti kepemilikan benda-benda seperti mobil, rumah dsb. Hakikatnya begitu! Jadi, perbedaan yang membuat kita jadi “pemenang” tidak perlu menjadikan kita orang sombong dan merendahkan orang lain.
Apalagi, kalau “kemenangan” yang membuat kita sombong itu adalah ditinjau atau dilihat dari aspek kolektif kepemilikan. Jelasnya, seseorang pada aspek tertentu menjadi “pemenang” sehingga mengalahkan orang (seseorang) yang lain. Namun, apabila dikaitkan dengan aspek-aspek lain, sang pemenang itu tidak dapat mengalahkan seseorang dalam aspek lain yang berbeda yang membuatnya menjadi “orang kalah”. Demikian juga sebaliknya, maka “orang kalah” inilah yang menjadi “pemenang baru” di antara mereka dalam aspek yang berbeda tadi.
Sekarang, bisa jugalah kita analogikan dengan pemerolehan medali negara-negara peserta Olimpiade Tokyo 2020 yang sekarang sedang berlangsung. Negara tertentu yang berada pada posisi prestisius tertentu (nomor 1, 2, 3, 4, dst.) dalam datfar negara pemeroleh medali. Secara pemerolehan kolektif, sang juara pada nomor-nomor itu mungkin lebih merasa puas karena pemerolehan kolektifnya (jauh) lebih banyak dari negara di atasnya (right above).
Negara A, memeroleh medali emas, perak dan perunggu adalah 2, 10 dan 5. Sedangkan negara B di bawahnya 1, 30 dan 10. Jadi, pembeda antara “pemenang” dan ” yang kalah” dalam kehidupan ini tidak jauh berbeda dari orang di atas atau di bawah kita. Jadi, yang menang (pemenang) tidak boleh sombong, merendahkan orang lain dan, apalagi, menghina.
Demikian juga orang yang kalah tidak perlu pula berkecil hati, kecewa dan, apalagi, menyalahkan Tuhan, Robb, Zat Yang Mengatur kehidupan makhluk. Lantas, sebaik-baik sikap kita adalah “pemenang” berlaku baik kepada “yang kalah” dan ” yang kalah berlaku baik pula kepada “yang menang/penenang”.
Itulah salah satu dari sikap-sikap baik dalam kehidupan bersama seperti yang diberitakan Tuhan bahwa sebaik-baik urusan manusia (tentu di dunia) adalah yang tengah/pertengahannya (dalam bahasa Al-Quran: ausaatuha). Jadi, bersikap moderat, tidak ekstrim yang membawa kerusakan kehidupan kemanusiaan.
Sekarang aspek kedua dari judul tulisan ini: ketenangan.
Ketenangan berbeda dari kemenangan. Ketenangan adalah suasana hati menerima apa saja dengan baik dan ikhlas. Ketenangan itu diperoleh dengan keredaan terhadap apa yang kita terima, bahkan juga dalam menerima musibah atau ketidakberuntungan. Ketenangan ini akan berarti sungguh-sungguh kalau penerimaan kita terhadap yang kita terima itu dikaitkan dengan keimanan kepada Tuhan.
Kenapa begitu?
Hati yang beriman itu akan dibimbing atau diberi ketenangan oleh Tuhan. Dalam Al-Quran surat Al-Fath, ayat 4, Tuhan berfirman bahwa Dialah yang menururunkan ketenangan (sakinah) kepada hati-hati orang-orang yang beriman agar bertambah keimanan mereka dari keimanan yang telah mereka miliki.
Seperti yang disebut di atas pilihan sikap “ausaatuha” atau “tengah” atau “moderat” itu lebih baik dalam menjaga suasana hati. Suasana hati yang seperti ini akan mendatangkan ketenangan kepada kita.
Jadi, mau utamakan yang mana: kemenangan atau ketenangan?
Menurut pemahaman saya, seperti yang dikemukakan di atas, ketenangan seharusnya lebih diutamakan. Namun, kalau boleh memilih apa yang tidak ditanya dalam pertanyaan ini, saya juga setuju kalau keduanya menjadi pilihan: kemenangan dan ketenangan! Kemenangannya yang nenimbulkan ketenangan da tidak mendatangkan kesombongan yang merusak.
Apabila kemenangan itu akan mendatangkan ketidaktenangan, bahkan mudarat, maka kemenangan jangan jadi pilihan. Saya beri umpama untuk ini sebagai ilustrasi.
Sepasang suami-istri yang siang hari dikirimi buah-buahan oleh anak mereka. Karena buah-buahan itu kesukaan suami-istri itu, maka mereka makan berdua. Namun, pada sore hari, suaminya menghabiskannya. Ada kekecewaan istri kepada suami yang tidak memikirkan dia. Terjadi dialog singkat seperti ini.
“Papa habiskan buah-buahan tadi ya?”
“Ya. Enak, manis.”
“Kalau enak, tidak ingat istri lagi ya?”
“Jadi, kesal pula ke saya Mama ya?” jawab suaminya dengan ketus.
“Kesal tidak. Tapi senang kalau suami mengingat istrinya juga.”
“Itu pun dikesalkan pula,” jawab suaminya.
Justru, dia yang kesal. Dia berusaha tanpa dia sadari untuk menjadi pemenang dalam masalah buah-buahan itu.
Nampak sekali suaminya kesal dan marah yang membuat suasana sore itu sampai malam menjadi tidak enak di antara mereka. Ini menjelaskan bahwa keinginan “menang” dari si suami telah menghilangkan ketenangan yang seharusnya mereka nikmati dari sore sampai malam itu.
Bisalah kita pahami, seandainya si suami tidak bersikap ketus seperti itu tetapi bersikap baik dan minta maaf dengan mengaku telah keliru, tentu suasananya akan memberikan ketenangan kepada mereka.
Jadi, sikap ingin atau perlu menjadi “pemenang” dalam kehidupan seperti uraian di atas akan memberikan ketidaktenangan kepada mereka yang terkait.
Demikianlah. Semoga ada manfaatnya.
Aamiin.
Salam.
Sangat menginspirasi… Terima kasih Pak