Koki dan Penulis
Oleh: Husnul Hafifah
Saya sudah bersiap melanjutkan perjalanan maya hari ini. Info yang saya terima pintu dibuka pukul 08.00. Masih 1 jam lagi. Saya gunakan waktu untuk jalan- jalan dulu ke wag yang ada di gawai saya. Tulisan berjudul berhentilah menulis, menarik perhatian untuk dibaca.
Bagaimana bisa, pemilik mantra ajaib “Menulislah tiap hari dan tunggulah keajaiban apa yang terjadi ” tiba tiba saja menyuruh berhenti menulis. Ada apa?
Saya terheran, dia yang sehari-harinya selalu posting tulisan berkali-kali, tak pernah kehilangan ide menuliskan apa saja dilihat dan dirasakan, apa yang di kepala segera dibreakdown ke dalam tulisannya. Hari ini motivasinya berbalik arah.
Lewat tulisan yang saya baca penulis ( OM Jay ) menganalogikan penulis itu seperti koki. Untuk menghasilkan masakan yang enak, seorang koki itu akan berhenti memasak untuk mencicipi masakannya. Jika misalnya masakan kurang manis ia akan menambahkan gula, kurang asin akan menambahkan garam, jika kurang pedas akan menambah cabai.
Koki juga perlu menambah wawasan, mengumpulkan bahan, memilih bahan yang berkualitas, bagaimana meramu dengan takaran dan komposisi yang pas. Teknik pengolahan dan penyajian. Semua terus dilakukan untuk menghasilkan makanan yang tidak sekedar enak tapi bagaimana peminat dan penikmatnya kian meningkat.
Demikian halnya dengan seorang penulis.
Penulis jangan hanya menulis saja. Penulis harus berhenti menulis, baca ulang tulisan sendiri. Merasa tulisan kurang bagus ya penulis perlu relaksasi berhenti menulis, jalan jalan baca tulisan orang lain. Kalo perlu beli buku -buku referensi untuk meningkatkan kualitas tulisan. Penulis yang baik juga harus bisa mengedit tulisan. Untuk bisa melakukannya penulis itu harus rakus membaca.
Ngomong -ngomong tentang koki dan menulis, kawan saya, Pak Tyqnue Azbynt penulis “Sajak Sajak Republik Kopi” menandai hubungan masakan dengan penulisnya.
Khairil Anwar itu, masakannya pedas bagai rendang padang
WS. Rendra mengolah dengan berbagai rasa, ramai, bagai seblak bandung
D’ Zawawi Imron, sederhana Lugas dengan bahasa rakyat ala Jawa timuran bagai rujak cingur yang manis asinnya ramu dalam diksi-diksi yang mudah dicerna.
Gus Mus, menyajikannya dalam kedalaman rasa, penuh makna filosofi hidup. Ditata dengan sangat padu dalam keseimbangan bagi sajian Jepang yang keseimbangan gizinya selalu diselaraskan dengan alam yang natural.
Sutardji Calzoum Bahri, menyajikan diksi diksinya dengan bahasa suluk yang kadang memekakkan telinga, menghentak dada, kadang sulit dimengerti bagai ramuan sajian soto aceh.
Cak Nun (Emha Ainun Najib) seperti gudeg Jogya. menggunakan bahasa rakyat Jawa. Penuh pendekatan budaya. Tulisannya selalu renyah dibaca.
Masak Gudeg tuh kan pakai tungku, api dari kayu, rempah diuleg tidak diblender. Begitulah bahasa Cak Nun…cipta rasa dan karsa ya disatukan bak gudeg
Begitulah ikatan makna tulisan yang saya baca. Ternyata judul tulisan OM Jay ada lanjutannya, “Berhentilah Menulis untuk Membaca”
Ooo alaa …maklum saya membacanya tergesa-gesa, melihat jam sudah masuk waktunya kunjungan maya. Saya tak ingin tuan rumah kecewa, Sebagamana saya kecewa jika meleset dari yang dijanjikannya.
Maaf saya kunjungan maya dulu, besok saya ceritakan hasilnya. Insyaallah
Salam literasi
Bondowoso, 28 082020
Inspiratif. Mudah2an nanti bisa jadi blogger terkenal seperti Oom Jay.
aamiin
* Basil Shota Suhud kelas 7E
Terimakasih blognya pak, sangat memotivasi