01.Mengais Mutiara di Negeri Panda
Oleh: Sutopo
Makan nasi soto bersama adalah momen berharga dalam keluarga kami. Namun belum juga dapat separoh piring saya memindahkan nasi soto itu ke perut ini, terdengar nada dering panggilan telepon selular dari nomor telepon area Jakarta. Mbak Uci, salah satu staf direktorat di Kemdikbud mengabarkan kalau saya termasuk salah satu peserta kegiatan short course ke China.
Mulai hari itu saya harus disibukkan dengan urusan yang tidak familier. Mengurus dokumen untuk pergi ke luar negeri adalah hal yang sama sekali tak pernah tersentuh oleh saya. Pagi itu saya harus ke Kantor Imigrasi Surakarta untuk mengurus paspor. Beruntung sekali, surat pemanggilan peserta dari Direktorat Kemdikbud itu bisa menjadi senjata untuk mempercepat laju proses pengurusan paspor.
Saya tidak tahu perasaan apa yang berkecamuk dalam benak anak dan istri saya ketika mereka harus berpisah dalam dua puluh satu hari ke depan dengan saya. Namun yang jelas ada haru di pojok pandangan mereka saat saya masuk ke ruang tunggu bandara Ahmad Yani Semarang. Tiga anak saya dan istri melambaikan tangannya dan perlahan kami terpisahkan jarak. Sore hari saya tiba di hotel untuk pre departure sebelum berangkat ke China.
Entah pukul berapa pesawat Cathay Pacific mulai lepas landas dari Bandara Soetta di malam keberangkatan itu. Yang jelas antara bersyukur dan kagum saya menikmati perjalanan dengan pesawat berbadan besar itu. Dalam pergulatan mimpi karena tertidur dibuai ayunan udara, tiba-tiba kami terbangun oleh pengumuman kru pesawat bahwa pesawat telah landing di Bandara Hongkong. Hawa dingin pun mulai menusuk kulit dan menembus tulang-tulang ini.
Sederet pemeriksaan imigrasi telah terlewati. Pesawat lanjutan segera membawa saya dan rombongan ke Bandara Nanjing. Satu pengalaman unik, ketika di pesawat lanjutan ini saya tak mendapat jatah makan padahal teman-teman semua dapat. Mungkin ada miskomunikasi antara saya dengan pramugari cantik itu. Rasa lapar itu harus saya lunasi dengan segelas mie ketika bus penjemput dari kampus CUMT berhenti di rest area. Tak ayal lagi ketika sampai di dormitory tempat kami nanti harus tinggal sementara di kampus sudah tersaji makan malam, langsung saya lahap menu makan malam itu meski tanpa ada kejelasan rasa dan nama makanannya.
Fakta baru, mulai hari itu saya dan teman-teman satu tim sudah menjejakkan kaki di CUMT untuk menyerap ilmu tentang penerapan HOTS dan STEM dari perguruan tinggi yang terkenal di bidang pertambangan itu. Kuliah demi kuliah kami ikuti di kampus yang sedang dilanda musim dingin itu. Kami harus mengikuti perkuliahan dengan bahasa China yang sedikit pun kami tak paham. Kampus mengusahakan translater oleh tiga mahasiswa dari luar China. Namun saya harus jujur bahwa bahasa Inggris saya kan juga jeblok.
Tertatih-tatih saya memahami setiap narasi yang disampaikan oleh para pembicara. Justru dari pemakaian bahasa para narasumber inilah saya menemukan mutiara yang sangat berharga. Nasionalisme. Ya, nasionalisme dalam pemakaian bahasa harus saya akui bahwa China lebih nasionalis. Siapa pun Anda kalau mau datang ke China harus dapat berbahasa China. Inilah mutiara yang saya bawa pulang dari negeri panda. Tentu saja di samping beban koper yang membengkak ketika pulang. Sampai jumpa di entah negara mana lagi. Semoga.
Cerita dari: Sutopo, M.Pd.
SMP Negeri 2 Demak Provinsi Jawa Tengah
Alumni Lomba INOBEL SMP tahun 2018
Karya karya yg patut dicontohi…salam literasi ya …tetap semangat ..salam sehat …Allah selalu melindungi hamba2Nya.Aamiin
Hebat sekali, pingin deh bisa ke luar negeri gratis
Luar biasa