Mengapa Kurikulum Merdeka – Kompas.id
Mengapa Kurikulum Merdeka
Mulai tahun ajaran 2022/2023, sekolah dan madrasah memiliki opsi untuk menggunakan kerangka kurikulum baru, yakni Kurikulum Merdeka, sebagai acuan untuk mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikannya.
Oleh
ANINDITO ADITOMO
Selasa, 15 Februari 2022 05:30 WIB
Minggu lalu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi meluncurkan kebijakan kurikulum sebagai program Merdeka Belajar episode ke-15. Mulai tahun ajaran 2022/2023, sekolah dan madrasah memiliki opsi untuk menggunakan kerangka kurikulum baru, yakni Kurikulum Merdeka, sebagai acuan untuk mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikannya.
Perubahan kurikulum nasional selalu menarik perhatian publik. Respons positif terhadap Kurikulum Merdeka umumnya datang dari para pelajar dan orangtua yang merasa beban kurikulum sebelum ini terlalu berat.
Namun, ada juga kalangan yang memandang kebijakan ini dengan skeptis. Perubahan kurikulum di tingkat nasional memang menuntut banyak penyesuaian di lapangan. Apakah dampaknya akan sepadan dengan upaya yang harus dilakukan?
Krisis belajar
Skeptisisme sebagian masyarakat terhadap perubahan kurikulum bukan tanpa dasar. Dalam dua puluh tahun terakhir, Indonesia sudah tiga kali mengganti kurikulum nasional, yaitu pada 2004, 2006, dan 2013. Kurikulum Merdeka akan menjadi pergantian keempat ketika pada 2024 nanti ditetapkan sebagai kurikulum nasional.
Bagaimana potret kualitas pendidikan kita pada kurun waktu itu? Sayangnya, kita harus mengakui bahwa kualitas pendidikan di Indonesia stagnan di tingkat yang rendah.
Data dari studi IFLS yang dianalisis Amanda Beatty dan peneliti RISE menunjukkan, selama kurun waktu 2000-2014, penguasaan matematika dasar murid SD, SMP, dan SMA di Indonesia cenderung menurun. Sebagai ilustrasi, pada 2014, hanya sekitar 67 persen murid kelas 3 yang bisa menjawab pertanyaan matematika untuk kelas 1.
Kurikulum Merdeka akan menjadi pergantian keempat ketika pada 2024 nanti ditetapkan sebagai kurikulum nasional.
Potret serupa terlihat dari PISA, studi internasional yang dilakukan setiap tiga tahun untuk mengukur penguasaan literasi membaca, matematika, dan sains murid berusia 15 tahun. Indonesia rutin mengikuti PISA sejak tahun 2000 sampai terakhir pada 2018. Dalam kurun waktu tersebut, skor rata-rata Indonesia tidak beranjak dari sekitar angka 370 sampai 400-an.
Dengan skor tersebut, hanya sekitar 30 persen murid kelas 9-10 di Indonesia yang memiliki kecakapan minimum dalam hal memahami bacaan dan bernalar secara matematika.
Dengan kata lain, sesungguhnya Indonesia telah lama mengalami krisis belajar. Learning loss yang diakibatkan pandemi tentu memperparah krisis tersebut. Yang terutama perlu diantisipasi adalah melebarnya kesenjangan karena pandemi mengakibatkan learning loss yang lebih besar pada murid dari keluarga miskin dan yang tinggal di wilayah-wilayah yang terbatas akses internetnya.
Krisis belajar adalah problem multidimensi yang tidak bisa dipecahkan hanya dengan perubahan kurikulum. Krisis belajar hanya dapat diatasi oleh perubahan yang sistemik. Dan itulah yang sekarang dilakukan Kemendikbudristek melalui rangkaian kebijakan Merdeka Belajar-nya.
Melalui Asesmen Nasional, sistem penjaminan mutu diubah agar tidak lagi berorientasi pada kepatuhan administratif, melainkan pada kualitas pembelajaran. Dinas pendidikan akan mendapat pendampingan agar dapat melakukan perencanaan berbasis data tentang kualitas pembelajaran.
Kapasitas guru dan kepala sekolah juga dikuatkan melalui berbagai program: Guru Penggerak, Organisasi Penggerak, Sekolah Penggerak, dan SMK Pusat Keunggulan.
Melengkapi berbagai program tersebut, kurikulum juga berperan penting. Kurikulum memengaruhi apa yang diajarkan guru dan bagaimana materi itu diajarkan. Mungkin betul bahwa guru yang hebat bisa mengajar dengan baik, seperti apa pun kualitas kurikulumnya. Namun, jika kita ingin agar semua guru mengajar dengan baik, kurikulum yang baik menjadi esensial.
Pentingnya kurikulum tampak jelas dari studi Pritchett dan Beatty yang terbit di International Journal of Educational Development pada 2015. Menggunakan data dari beberapa negara berkembang, Pritchett dan Beatty melakukan simulasi untuk melihat pengaruh cakupan materi kurikulum dan hasil belajar murid. Simpulan mereka sangat jelas: materi kurikulum yang padat justru menghambat pembelajaran.
Krisis belajar hanya dapat diatasi oleh perubahan yang sistemik.
Di konteks Indonesia, studi yang kami lakukan bersama INOVASI selama pandemi juga mengarah pada simpulan yang sama. Pada awal pandemi, Kemendikbudristek melakukan penyederhanaan materi Kurikulum 2013. Selama tahun ajaran 2020/2021, ”kurikulum darurat” tersebut diadopsi sekitar 30 persen sekolah di Indonesia.
Sekolah-sekolah yang menggunakan kurikulum darurat ternyata menunjukkan hasil belajar literasi dan numerasi yang lebih baik dibandingkan dengan sekolah yang tetap menerapkan Kurikulum 2013 secara utuh. Penyederhanaan materi ini diperkirakan bisa mengatasi 70-80 persen dari learning loss akibat pandemi. Ini jelas dampak yang signifikan.
Alasan Kurikulum Merdeka
Dampak positif kurikulum darurat menunjukkan pentingnya melakukan penyederhanaan materi. Ini sebenarnya bukan hal yang mengejutkan. Jika materi yang wajib diajarkan terlalu banyak, strategi paling rasional bagi guru adalah berceramah satu arah. Materi yang padat akan membuat guru kesulitan mengadakan kegiatan diskusi, berargumentasi, dan metode pembelajaran lain yang mendorong murid mengembangkan nalar dan karakternya.
Begitu pula dengan penggunaan asesmen diagnostik yang membantu guru menyesuaikan materi dan strategi pembelajaran dengan tingkat kemampuan murid. Pemberian umpan balik yang membantu murid memahami dan mengoreksi kesalahan dan kesalahpahamannya juga sulit dilakukan ketika guru lebih memilih kejar tayang menuntaskan materi.
Jika kita ingin guru berfokus pada pembelajaran murid, cakupan kurikulum harus dibatasi pada materi yang memang esensial. Kedalaman proses mensyaratkan pengorbanan dalam keluasan materi. Inilah yang menjadi salah satu prinsip utama perancangan Kurikulum Merdeka.
Dengan berfokus pada materi esensial, Kurikulum Merdeka bisa memberi waktu khusus bagi pembelajaran berbasis proyek. Ini merupakan pembelajaran lintas mata pelajaran yang berorientasi pada pembuatan karya atau pemecahan masalah nyata secara kolaboratif.
Contoh sederhananya, kegiatan menciptakan lagu atau membuat drama, merencanakan bazar atau membuat produk, dan mengatasi masalah sampah di lingkungan rumah atau sekolah.
Pembelajaran semacam inilah yang dapat mengasah kepedulian sosial, menumbuhkan toleransi, melatih komunikasi dan kerja sama. Pembelajaran seperti ini jugalah yang mendorong murid untuk menerapkan konsep/materi dari berbagai mata pelajaran pada problem atau isu nyata.
Pendek kata, Kurikulum Merdeka dirancang untuk memudahkan guru berfokus pada pembelajaran.
Dengan demikian, murid bisa merasakan relevansi ilmu pengetahuan untuk kehidupan dan tumbuh kecintaannya pada ilmu pengetahuan dan proses belajar itu sendiri. Pendek kata, Kurikulum Merdeka dirancang untuk memudahkan guru berfokus pada pembelajaran. Dengan kurikulum ini, alih-alih berkejaran dengan waktu untuk menuntaskan materi, guru akan bisa memperhatikan apa yang menjadi jantung pendidikan: kualitas belajar yang dialami murid-muridnya.
Kurikulum Merdeka memang bukan magic bullet atau solusi sapu jagat. Namun, berpadu dengan program-program Merdeka Belajar lainnya, kami percaya bahwa Kurikulum Merdeka akan memantik transformasi sistemik yang kita perlukan untuk mengatasi krisis belajar di Indonesia.
Anindito Aditomo Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi