
Negara Berutang Jasa Guru
Oleh Jejen Musfah, Wakil Sekjen PB PGRI
SINDO, 27 Desember 2021
Indonesia darurat kekurangan guru. Kekurangan guru Aparatur Sipil Negara (ASN) di sekolah negeri sekitar 1.002.616 orang. Kekurangan guru akan terus bertambah karena sepanjang 2019-2023 total guru yang pensiun sebanyak 316,5 ribu orang. Sementara rekrutmen guru ASN tidak dilakukan setiap tahun.
Akhirnya pemerintah daerah atau sekolah merekrut guru honorer demi menutupi kekurangan guru tersebut. Padahal dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2005 disebutkan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota tidak boleh mengangkat guru honorer. Faktanya, terdapat sekitar 742.459 guru honorer.
Meski sama-sama bergaji kecil, terdapat perbedaan nasib guru honorer yang diangkat kepala sekolah dengan yang diangkat Pemda. SK kepala daerah mempermudah guru mendapatkan Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) dan menjadi syarat penerimaan Tunjangan Profesi Guru (TPG).
NUPTK sendiri menjadi syarat mengikuti sertifikasi guru dan rekrutmen guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Intinya, banyak kelemahan guru yang diangkat hanya berdasarkan keputusan kepala sekolah. Sementara, banyak kepala daerah yang tidak mengangkat guru honorer karena PP di atas.
Larangan pemerintah di satu sisi, dan rekrutmen guru honorer oleh Pemda di sisi lain menunjukkan kacaunya pengelolaan guru di Indonesia. Pemerintah tidak serius mengurus guru yang notabene kunci kemajuan pendidikan. Kemajuan pendidikan adalah kunci kemajuan dan kehebatan suatu bangsa dalam menghadapi persaingan global.
Jaminan Kesejahteraan
Guru-guru honorer di atas menutupi kekurangan guru ASN di sekolah-sekolah negeri selama lima, sepuluh, sampai 15 tahun. Mereka memiliki harapan suatu saat diangkat menjadi guru ASN. Maka mereka bertahan dan tetap mengabdi sebagai guru meski gajinya jauh dari Upah Minimum Regional (UMR).
Padahal dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun 1945 disebutkan, setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan dan penghidupan yang layak. Guru sebagai profesi mulia yang tugasnya mencerdaskan generasi dan kehidupan bangsa berhak mendapatkan kesejahteraan.
Demikian juga menurut UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 14, bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
Faktanya jauh panggang dari api. Hampir tidak ada sarjana terbaik ingin menjadi guru karena gajinya sangat kecil. Gaji guru tidak manusiawi. Menjadi guru non-ASN tidak menjamin penghidupan yang layak. Sementara rekrutmen guru ASN tidak dibuka setiap tahun. Pemerintah buta dan tuli atas kesejahteraan guru.
Sumber Dana
Untuk menutupi kekurangan guru ASN di sekolah negeri, pada 2021 ini pemerintah merekrut 1 juta guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Sayang, hanya sekitar 506.252 guru honorer yang didaftarkan oleh daerah. Dan hanya 173.329 guru honorer yang lulus tes.
Bukan karena guru tidak berminat menjadi PPPK tetapi daerah merasa tidak memiliki kemampuan dana untuk membayar gaji dan tunjangan mereka. Pasalnya, dalam Perpres Nomor 98 Tahun 2020, Pasal 5 (1) Gaji dan Tunjangan bagi PPPK yang bekerja di Instansi Pusat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (2) Gaji dan Tunjangan bagi PPPK yang bekerja di Instansi Daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Perpres ini yang menjadi acuan banyak kepala daerah hati-hati mengusulkan kuota guru PPPK karena akan membebani APBD. Di sisi lain, Kementerian Keuangan menerbitkan surat kepada seluruh gubernur, bupati, wali kota di Indonesia. Surat Nomor: S-46/PK/2021 tertanggal 31 Maret 2021 tentang perhitungan anggaran PPPK dalam alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) 2021.
Intinya, gaji dan tunjangan guru PPPK ditanggung APBN.
Bisa jadi kepala daerah khawatir, jaminan DAU untuk guru PPPK hanya ada pada 2021 atau 2022 mendatang, sementara di tahun 2023 dan seterusnya akan menjadi beban APBD. Jika pemerintah serius ingin mengatasi kekurangan guru, maka perlu ada jaminan sumber dana gaji dan tunjangan guru PPPK. Bukan dalam bentuk surat edaran tetapi perubahan Perpres Nomor 98 tersebut.
Solusi
Banyaknya guru honorer yang tidak lulus PPPK pada tahap 1 tahun 2021 ini menunjukkan kelemahan penguasaan materi dan/ atau penguasaan komputer. Banyak guru honorer tua yang tidak terampil menggunakan komputer sehingga berpengaruh terhadap hasil tes mereka.
Pemberian peluang hingga 3 kali tes dinilai bukan solusi bijak bagi guru-guru honorer yang sudah tua. Alih-alih memaksakan tes, sebaiknya pemerintah mengangkat semua guru honorer menjadi PPPK secara bertahap. Kemudian didiagnosa kelemahan kompetensinya apa, lalu diberikan pelatihan di tingkat daerah, Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), atau Kelompok Kerja Guru (KKG).
Kebijakan ini layak diambil karena selama belasan bahkan puluhan tahun negara berutang jasa kepada guru. Ini bukan soal kompetensi atau kesalahan siapa yang merekrut mereka, tetapi soal penghargaan dan pemuliaan negara terhadap guru-guru yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk dunia pendidikan.
Akan tetapi negara tidak boleh jatuh ke lubang yang sama. Caranya, tidak boleh ada lagi kepala daerah yang mengangkat guru honorer karena pemerintah akan merekrut guru PNS atau PPPK (ASN) dari para sarjana terbaik di bidangnya masing-masing. Guru-guru baru ini dipastikan memiliki kualifikasi dan kompetensi yang sesuai regulasi. Intinya, kekurangan guru diatasi dengan rekrutmen guru ASN dari guru honorer dan sarjana baru yang berkualitas.
Dengan demikian, kelak tidak ada lagi dilema guru honorer. Pemerintah melakukan tes untuk mencari yang terbaik, sementara guru honorer ingin tanpa tes karena alasan pengabdian. Maka stop rekrutmen guru honorer dengan syarat rekrutmen guru ASN sesuai kebutuhan secara berkesinambungan.
Yang dibutuhkan saat ini adalah kemauan baik pemerintah atas panjangnya pengabdian guru honorer, bukan bersilat lidah dengan berlindung di balik aneka regulasi. Jasa guru amatlah tak ternilai bagi pencerdasan bangsa ini.
Bangsa ini berutang banyak atas pengabdian, jasa, dan penderitaan guru.
Guru sudah bosan dengan aneka janji dan harapan palsu. Aneka rekomendasi panitia khusus atau panitia kerja guru honorer DPR dan DPD seolah angin lalu, dan tak didengar. Terkesan basa-basi dan hanya menghabiskan anggaran.
Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai dan memuliakan guru. Maka segera lunasi utang pemerintah kepada guru dengan mengangkatnya menjadi ASN tanpa tes.
Saya sebagai guru Nip di salah satu sekolah di Papua Kabupaten Yahukimo Provinsi Papua sedang mengeluh karena tidak ada perhatian dari pemerintah pemerintah ,dan negara. Saya hidup hanya dari gaji tidak pernah ada kesejahteraan tidak pernah ada tambahan penghasilan maka pemerintah pusat maupun daerah harus ada perhatian penuh kepada guru se Indonesia. Karena guru adalah penyelamatan negara.