“Education is the most powerful weapon which you can use to change the world”
(Nelson Mandela)
Indonesia Negara Multietnik dan Multibudaya
Indonesia dikenal sebagai negara multietnik dan multibudaya. Terdapat sekitar 931 etnik dengan 731 bahasa. Ibarat sebuah taman, Indonesia ditumbuhi aneka bunga berwarna-warni. Keragaman yang indah dipandang. Elok ditempati dan dinikmati.
Keragaman suku dan budaya di Indonesia akan menakjubkan jika hidup selaras. Berbingkai “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai sebuah negara nasional bernama “NKRI”. Akan tetapi jika keselarasan mulai terkikis kepentingan primordialisme, akan menimbulkan benturan. Baik benturan peradaban, maupun benturan kepentingan.
Konflik horizontal tidak dapat dihindarkan. Menimbulkan banyak korban. Harta dan bahkan nyawa tidak lagi mempunyai arti. Begitu mudah dibakar habis. Begitu gampang dibabat habis. Mengancam keutuhan bangsa. Meruntuhkan kedaulatan negara.
Pancasila dalam Tinjauan Sejarah
Pancasila digali dari nilai-nilai budaya. Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi pedoman hidup masyarakat dalam suatu bangsa dan negara. Memberikan arah, tujuan, dan batas-batas perilaku hidup dalam berbangsa dan bernegara.
Bangsa yang besar ini lahir dari darah juang untuk merdeka. Lepas dari penjajahan yang tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Mempunyai tujuan dapat hidup berdampingan seutuhnya. Mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Seiring berdirinya NKRI, Pancasila sebagai dasar negara tak lepas dari rongrongan. Baik rongrongan dari dalam maupun dari luar. Negara yang baru merangkak, bertubi-tubi harus menghadapi dan bertahan dari gempuran frontal ideologi global yang dipaksakan.
Perbedaan pandangan ideologi silih berganti berupaya menggantikan Pancasila sebagai dasar negara. Pemberontakan DI/TII dan PKI tak lepas dari pengaruh ideologi global yang berkembang secara masif. Mampu dibentengi hingga masa orde baru.
Di era reformasi, rongrongan terhadap Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa bergeser ke arah sentimen menguatnya kesadaran etnik (ethnic consciousnes). Kasus Sambas, Sampit, Ambon dan Aceh menjadi lembaran sejarah kelam.
Konflik perbedaan multietnik begitu mudah tersulut emosi untuk saling menghabisi. Saling bunuh dengan keji. Tanpa peduli dengan nilai-nilai kemanusiaan. Terbaru, “Kerusuhan Wamena” membuat kita kembali miris.
Peran Lembaga Pendidikan
Konflik horizontal seakan tak ada ujung penyelesaian di masyarakat multietnik, jika bangsa ini tak lagi menjiwai nilai-nilai Pancasila. Lembaga pendidikan mempunyai peran penting. Mengubah pandangan untuk kembali menjiwai dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila.
Paradigma pendidikan abad 21 bertujuan meningkatkan kompetensi siswa yang berorientasi pada berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills/HOTS). Guru seharusnya mampu menanamkan nilai-nilai Pancasila sebagai transfer of knowledge, critical and creative thinking, dan problem solving.
Harapannya, generasi masa depan mampu menjiwai dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam bingkai “Bhinneka Tunggal Ika” secara utuh. Tidak mudah terseret penyalahgunaan teknologi dan informasi yang menyesatkan dan masif. Menjadi generasi yang mampu menjaga keutuhan bangsa dan negara di segala jaman. Mampu menjawab dan menemukan solusi terbaik dari tantangan yang dihadapi. Semoga.