[gview file=”https://www.guru.karimunpos.com/wp-content/uploads/2021/09/peluang-tantangan-ptm-1.pdf”]
Peluang dan Tantangan Pembelajaran Tatap Muka[1]
Oleh Jejen Musfah, Wakil Sekjen PB PGRI
Sebagian sekolah mulai melaksanakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas dengan protokol kesehatan. Meski terdapat pro dan kontra, menurut pemerintah, pembukaan sekolah merupakan pilihan untuk menaikan capaian hasil belajar. Warga sekolah diharapkan segera beradaptasi dengan cara belajar baru di era pandemic covid-19.
Peluang
Pertama, meningkatkan capaian hasil belajar siswa. PTM terbatas harus disiapkan secara matang untuk mengatasi kelemahan-kelemahan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Dalam waktu yang terbatas di kelas, 2 sampai 3 jam, dan hanya 2 sampai 3 hari di sekolah, guru harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin.
Selain belajar di sekolah, siswa tetap melaksanakan pembelajaran daring. Maka disebut pembelajaran bauran. Guru harus merancang dengan baik, aktivitas-aktivitas pembelajaran di kelas dan di rumah. Luring dan daring. Mengacu kepada pedoman PTM Kemdikbudristek, disesuaikan dengan kondisi sekolah.
Kedua, mengurangi putus sekolah. PTM diharapkan menarik minat belajar siswa yang terkendala internet, sinyal, listrik, motivasi, laptop, atau gawai. Sementara yang mengalami kendala biaya, semoga pemerintah daerah segera menyelesaikannya.
Dinas pendidikan mengumpulkan kepala sekolah negeri dan swasta untuk meminimalisir putus sekolah. Disiapkan aneka skema penyelesaian putus sekolah, sesuai dengan faktor penyebab masing-masing siswa.
Ketiga, mengurangi kekerasan terhadap anak. Interaksi intensif anak dengan orang tua di rumah membuka peluang kekerasan terhadap anak. Kelemahan pengetahuan tentang cara mendidik anak mengakibatkan kekerasan dalam rumah. Kehadiran anak di sekolah diharapkan meringankan stress orang tua dan anak. Kelamaan di rumah dan pergaulan bebas menyebabkan pernikahan dini dan kehamilan pada anak.
Sekolah membangun komunikasi dengan orang tua untuk bersama-sama menjalankan peran mendampingi belajar anak dan mendidik mereka dengan baik.
Tantangan
Pertama, keterbatasan internet. Pandemi memberikan momentum bagi pemerintah untuk pemerataan listrik, internet, dan fasilitas digitalisasi sekolah. Siswa yang ada di pulau-pulau terpencil bisa belajar jika ada fasilitas tersebut. Program laptop diharapkan tepat sasaran.
Kedua, kemampuan membeli kuota. Evaluasi program bantuan kuota bagi guru dan siswa harus terus dievaluasi sehingga tepat sasaran. Evaluasi juga diarahkan pada ketepatan penggunaan kuota untuk pembelajaran, bukan untuk nonpembelajaran. Program ini terutama harus menjangkau siswa miskin dan guru honorer yang gajinya di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kota/ Kabupaten (UMK). Peran nonpemerintah akan membantu menyelesaikan masalah kuota internet.
Kemampuan finansial juga kadang mempengaruhi penyelesaian tugas-tugas sekolah yang membutuhkan siswa membeli alat atau bahan tertentu. Kemiskinan jelas berpengaruh terhadap proses dan capaian belajar.
Ketiga, kepemilikian komputer atau laptop. PJJ yang ideal dilakukan menggunakan komputer atau laptop, bukan dengan telepon genggam. Pengerjaan tugas-tugas juga akan lebih mudah atau cocok menggunakan laptop. Ketiadaan laptop pasti memengaruhi proses belajar mengajar PJJ. Laptop menjadi kebutuhan utama belajar di era digital saat ini. Misal, beberapa tugas dan ujian disampaikan guru dalam aplikasi maya yang membutuhkan laptop sebagai medianya.
Keempat, literas digitial guru dan siswa. Dalam PJJ beberapa keterampilan digital harus dikuasai guru dan siswa, seperti mengetik, menggunakan mouse, menggunakan email, google class room, mencari informasi atau data di internet, membuat PPT, dan membuat video.
Di masa pandemi, literasi digital sebagian guru dan siswa meningkat, sementara sebagian lainnya semakin tertinggal karena kelemahan bahkan ketiadaan listrik dan internet, serta laptop. Sebagian dapat tetap belajar dengan baik di era pandemi karena memiliki fasilitas digital dan guru-guru kompeten, sebagian lainnya mengalami penurunan capaian pembelajaran.
Kelima, disiplin protokol kesehatan. PTM terbatas harus dilaksanakan dengan protokol kesehatan. Setiap warga sekolah harus disiplin melaksanakan protokol ini agar tidak terjadi penularan virus di sekolah. Setiap warga sekolah harus dipastikan kesehatannya sebelum masuk ke sekolah, seperti pengukuran suhu tubuh.
Keenam, percepatan vaksinasi guru, staf, dan siswa. Menurut Kementerian Kesehatan (ui.ac.id, 09/2021), 94% kasus meninggal covid-19 belum vaksinasi. Vaksinasi sangat penting untuk membentuk kekebalan kelompok. Upaya ini tidak mudah karena sebagian masyarakat tidak mau divaksin dengan berbagai alasan.
Di sisi lain, pemerintah harus memastikan ketersediaan vaksin untuk semua lapisan masyarakat, khususnya warga sekolah. Meski tidak menjadi syarat utama untuk PTM terbatas, vaksin warga sekolah akan meminimalisir penularan virus. Pemerintah juga harus menyiapkan tenaga kesehatan yang cukup, dan memerhatikan gaji dan tunjangan mereka.
Pelaksanaan
Pembelajaran luring terbatas bermakna bahwa pembelajaran dilakukan secara bauran, hibdrid, atau blended. Pembelajaran dilakukan di sekolah dan di rumah. Artinya, kehadiran internet dan kepemilikan laptop masih sangat perlu. Kuota internet tetap diperlukan.
Guru menyiapkan kurikulum pembelajaran yang dipakai secara luring dan daring. Guru harus terus belajar dan meningkatkan literasi digital agar siswa senang dan aktif dalam belajar.
Tidak kalah penting adalah peran orang tua dalam mendampingi dan memotivasi belajar anak di rumah. Orang tua juga harus siap memenuhi kebutuhan belajar anak, seperti laptop, kuota internet, dan bahan-bahan tugas sekolah, yang pengadaannya kadang mendadak atau saat itu juga.
[1] Webinar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama dengan UNICEF, Selasa, 21 September 2021