PENULIS, BUKU DAN HALAMANNYA
Oleh Rita Audriyanti
Buku adalah jendela dunia. Melalui buku wawasan pembaca terbuka. Ia bisa melihat ke sana ke mari dan mengambil pelajaran. Namun di balik itu, membangun minat membaca bukan perkara mudah. Bahkan, masih banyak orang menjadikan buku dan bahan bacaan lainnya sebagai kawan pengantar tidur.
Di era digital saat ini, wujud buku sudah berubah. Buku tidak lagi berbentuk tulisan dan gambar di atas lembar kertas. Buku tampil melalui media elektronik dengan format tertentu. Bagi peminat bacaan, kedua sumber tersebut memperkaya alternatif sumber bacaan.
Menulis sebagai aktivitas baru bagi pemula atau sudah menjadi kebutuhan bagi mereka yang sudah menghasilkan banyak karya, menuntut sang penulis untuk juga menaruh perhatian terhadap minat membaca. Logisnya, antara kegiatan menulis dan membaca atau sebaliknya, harus menjadi kegiatan sepaket . Mana mungkin menulis tanpa membaca. Termasuk “membaca” tanda-tanda alam. Tetapi, boleh jadi, orang yang membaca belum tentu menulis. Apalagi menulis buku.
Kembali kita introspeksi. Sebagai penulis artikel lepas atau buku misalnya, penulis pasti telah membaca semua kata demi kata yang ditulisnya. Seorang penulis yang bertanggung jawab atas tulisannya, tak ingin misi yang disampaikannya melalui tulisan tidak tepat sasaran. Maka, ia wajib memahami betul apa kandungan tulisannya dan bagaimana mengantarkan pesan-pesan tulisan tersebut dengan memperhatikan kaidah menulis. Tujuannya agar tidak terjadi salah sarasan dan salah paham. Ini menyangkut tulisan sendiri.
Bagaimana dengan tulisan bersama? Di sinilah masalahnya. Sebuah karya antologi misalnya, boleh jadi tak sempat atau (ekstremnya) tidak dibaca oleh sesama penulis lainnya meskipun mereka berada dalam bingkai buku yang sama. Why? Itu tadi. Minat baca yang rendah. Hanya mau menulis saja. Tak mau membaca karya bersama. Atau, menganggap tulisan yang lain tidak menarik, sudah dimengerti dari judulnya, dan seribu alasan lainnya. Berapa banyak karya antologi bernasib seperti ini. Ditinggalkan kawan sepenulisannya.
Kadang alasan orang tidak minat membaca buku adalah ulah tebalnya jumlah halaman buku. Tak heran, peminat karya novel yang tebal-tebal itu hanya diminati orang-orang tertentu. Apalagi karya lain, seperti Kitab Undang-Undang. Diperlukan sebuah niat dan minat yang serius membacanya hingga tuntas sehingga benar- benar paham maksudnya.
Kalau kumpulan tulisan dalam karya antologi saja kita malas membacanya, apalagi karya yang lain. Makin parah tatkala kita pun ikut mengomentari dan memberi pendapat berdasarkan hasil bacaan dan pemahaman orang lain. Apalagi kalau yang memberi komentar itu bukan ahlinya. Hal ini menjadi sebuah tantangan bagi penulis manapun.
Jadi, kita sebagai penulis penggerak literasi, selayaknya ikut membudayakan kebiasaan tuntas membaca karya bersama. Sebuah cara memberi waktu dan mengapresiasi karya bersama.
Tulisan ini sebagai retrospeksi juga bagi saya pribadi. Wallahua’lam.
PG, 14/10/2020
Bagus ilmunya, subhanallah
Waalllah, serasa ditegur saya baca tulisan ini. Ikut membuat buku Antologi namun tidak selesai-selesai membacanya… Terimakasih Bu, sudah mengingatkan…. Ahh.. Ternyata saya masih malas membaca.. Ayo Terus Membaca!!!
Saya suka membaca..tapi menulis rasanya cukup sulit.. masih harus banyak membaca dan belajar menulis. Terimakasih..
Salam literasi
… Jadi, kita sebagai penulis penggerak literasi, selayaknya ikut membudayakan kebiasaan tuntas membaca karya bersama. Sebuah cara memberi waktu dan mengapresiasi karya bersama. ….
Bikinnya sama-sama kok nggak mau baca, kebangetan kan?