Pungutan liar dalam dunia pendidikan sebenarnya sudah lama terjadi. Hal itu telah menjadi budaya sejak dahulu kala. Sampai sekarang pun pungutan liar masih tetap ada, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
Sejak saya masih bersekolah di SMP, saya masih ingat bagaimana pungutan liar itu dijalankan. Setiap peserta didik yang lulus sekolah, ketika akan mengambil ijasah diwajibkan membayar uang sebesar lima puluh ribu rupiah. Itu terjadi di daerah kelahiran saya, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Kejadian itu saya alami pada tahun 2005.
Sekolah tersebut berstatus negeri, alias milik pemerintah. Setiap bulan harus membayar SPP. Namun dari itu, lulus SPP selama tiga tahun ternyata belum lunas. Ketika belum lunas membayar ijasah, peserta didik tidak diperbolehkan mengambil ijasah. Apapun alasannya.
Ketika saya bersekolah di SMK ternyata juga masih sama. Saya lulus SMK pada tahun 2008. Setiap peserta didik yang lulus sekolah wajib setor tujuh puluh lima ribu rupiah sebagai syarat pengambilan ijasah kelulusan. Ijasah yang sebenarnya hak setiap warga negara yang sudah tamat dari bangku pendidikan, dalam praktiknya ternyata tak seindah yang dibayangkan. Uanglah ternyata yang bisa “berbicara”.
Apakah sampai disitu saja? Ternyata tidak.
Saya sekarang tinggal di Kota Salatiga, Jawa Tengah. Berada di kaki gunung Merbabu. Suasananya cukup dingin. Mungkin karena udara dingin inilah membuat warganya juga dingin pemikirannya. Hal itu terbukti pada tahun 2021 Kota Salatiga menduduki peringkat pertama kategori kota paling toleran se-Indonesia.
Di Salatiga, saya juga masih sering melihat budaya praktik pungutan liar yang dilakukan oleh sekolah-sekolah, baik itu sekolah di bawah naungan Pemerintah Daerah maupun milik Kementerian Agama.
Misalnya, setiap hari Jum’at setiap anak diwajibkan infak seikhlasnya. Alasan guru di sekolah sebenarnya sangat bagus yakni melatih kebiasaan bersedekah. Namun ketika ditanyakan uang tersebut larinya kemana, kadang guru tersebut bingung menjawabnya.
Ketika pengambilan rapot dan akan liburan akhir semester, wali peserta didik tentunya diundang untuk mengambil rapot. Ketika akan pulang ke rumah, ternyata harus mengisi kotak sumbangan seikhlasnya. Miris memang. Namun itulah realitasnya.
Memberantas Budaya Korupsi Sejak Berada Di Sekolah
Akhir-akhir ini, publik dibuat geger karena seorang anggota DPR di Jawa Timur tertangkap OTT KPK. Modus yang digunakan adalah sistem ijon, yakni menawarkan jasa di muka dengan imbalan 20 persen. Si oknum tersebut sangat bersemangat mengurus proposal dengan syarat ketika cair harus langsung dipotong.
Bila membandingkan kisah tersebut, artinya budaya korupsi secara tidak langsung sudah tertanam sejak berada di dalam sekolah. Oknum guru secara implisit mengajarkan budaya korupsi yakni meminta uang yang pada akhirnya tidak jelas pergi kemana.
Lembaga pendidikan seharusnya mengubah pola pikir. Ada sebuah pepatah mengatakan guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Artinya, apabila guru mengajarkan yang kurang baik, maka murid (peserta didik) akan menjadi semakin tidak baik.
Lembaga pendidikan harus mengajarkan dan memberi contoh untuk tidak mengadakan uang pungutan liar di dalam sekolah. Ketika pungutan liar ditiadakan, maka kemungkinan besar peserta didik akan mengikuti jejak gurunya yakni tidak melakukan praktik korupsi.
Sebaliknya, apabila praktik korupsi masih tetap membudaya dalam lingkungan sekolah yang itu diajarkan oleh para guru, maka kemungkinan besar peserta didik juga akan mencontohnya. Kalau peserta didik sudah meniru para guru untuk bertindak yang tidak benar, maka bangsa ini akan mau dibawa kemana? Semoga bermanfaat.
Salatiga, 18 Desember 2022
*Catatan : penulis tidak menyebutkan identitas sekolah dengan alasan menjaga nama baiknya.