RESENSI BUKU HABIBIE & AINUN
Oleh Rita Audriyanti
Identitas buku
1. Nama pengarang : Bacharuddin Jusuf Habibie
2. Judul buku : Habibie & Ainun
3. Penerbit : PT THC Mandiri
4. Tempat terbit : Jl. Kemang Selatan No. 98 Jakarta 12560 – Indonesia.
5. Tahun terbit : 2010
6. Tebal buku : xii + 323 Halaman
7. Kategori : Biografi
8. Harga buku : Rp. 80.000
9. Resolusi : 14 cm x 21 cm
Salah satu buku Biografi yang saya sukai adalah tulisan pengalaman pribadi Prof. DR. B.J Habibie terhadap pasangan jiwa, belahan hatinya, dr. Hj. Hasri Ainun Habibie binti R. Mohamad Besari (1937-2010). Pengungkapan penulisan buku Biografi ini bergaya novel sehingga enak dibaca dan mampu menyentuh emosi pembaca. Apalagi, saat berkunjung ke rumah beliau di Patra Kuningan, Jakarta, pulangnya kami mendapat cinderamata langsung dari beliau sebuah buku yang saya pun sudah membelinya sebelumnya. Bedanya, buku dari beliau bertanda tangan Bapak Habibie.
Dimulai dengan Kata Pengantar, penulis menuntun pembaca memasuki “gerbang” suasana hati dan kondisi psikologis Bapak Habibie yang begitu dahsyat porak poranda akibat ditinggal pasangan hidupnya yang telah membersamainya selama 48 tahun 10 hari.
Dengan kondisi yang patah sayap ini, atas saran dokter di Hamburg, Muenchen dan Indonesia, Bapak Habibie disarankan untuk menuliskan rasa yang ada dalam dirinya agar terhindar dari gangguan psikosomatik, sebuah gejala penyakit yang erat hubungannya antara faktor, fisik, psikologis dan sosial. Di setiap waktu, tempat dan suasana, wajah almarhumah terus ada di pelupuk matanya. Bapak Habibie menulis dengan sepenuh jiwa yang lancar dituangkannya ke dalam tulisan, seolah bagai air mengalir deras dari puncak gunung menuju samudera. Tak jarang, tetes air mata menyertai setiap kata yang begitu dalam artinya bagi beliau. Sebuah kalimat terbaik yang selalu Bapak Habibie ingat dari sang kekasih adalah, “The big you and the small I”. Sebuah ungkapan yang mempersilakan sang suami menjadi imam untuk melangkah ke depan dan Ibu Ainun mengikutinya dari belakang. Kondisi ini menjadi harmoni dan keseimbangan dalam membina berkeluarga. Ini pula kunci sukses Bapak Habibie sebagai intelektual, pemimpin bangsa dan tokoh berpengaruh dunia. Melalui tulisan, Bapak Habibie menyembuhkan luka jiwanya, mencerahkan hidupnya dengan mendapat limpahan hidayah dari Allah Swt dan menjadi inspirasi bagi banyak orang. Apalagi kemudian, buku-buku beliau, termasuk buku Habibie & Ainun ini, muncul di layar lebar.
Kalau kita maju lagi menelusuri bab demi bab buku yang terdiri dari 37 bab ini, tak terasa kita akan larut dalam berbagai pengalaman hidup, baik dalam masa perkenalan dua insan dewasa yang kemudian saling jatuh cinta hingga sepakat membina rumah tangga dengan segala suka dukanya, masa-masa pendidikan dengan tidak sedikit pengorbanan dan perjuangan, pengembangan karier hingga Bapak Habibie dipanggil pulang ke tanah air untuk mengemban misi bangsa. Kita semua tahu bahwa Bapak Habibie sampai ke puncak karier politiknya sebagai Presiden ketiga RI dalam suasana sulit.
Sempat menikmati masa menua bersama dalam suka cita dan siapa yang tak akan mengatakan bahwa mereka adalah pasangan serasi dan ideal di zamannya, namun waktu yang indah itu tidak bisa berlama-lama. Sakit yang diderita Ibu Ainun memperlemah kondisinya hingga ajal menjemput beliau pada 23 Mei 2010.
Buku ini pun tidak melulu berkisah tentang percintaan pasangan yang selalu nampak serasi, tetapi juga menggambarkan bagimana kerasnya perjuangan hidup seorang Habibie dalam menuntut ilmu di negeri orang, penemuan-penemuan karya intelektualnya di dunia pesawat terbang, dan cita-cita dalam membangun negeri Indonesia tercinta. Begitu juga dokter Ainun. Sumbangsihnya pada amal sosial tercatat dalam lembar sejarah Indonesia. Bapak Habibie sudah sampai pada puncak memilih semua yang enak dan nyaman untuk diri dan keluarganya. Namun, panggilan Ibu Pertiwi lebih menggugah jiwanya. Ia memilih mempersembahkan waktu terbaiknya untuk bangsa ini.
Sebagai pembaca buku ini, rasanya kita seperti mendapat pencerahan bagaimana membangun dan membina rumah tangga itu dengan tujuan yang diperjuangkan bersama sesuai dengan medan masing-masing. Bapak Habibie lebih banyak berada di luar, mengurusi domain publik dan Ibu Aini mengurus ranah domestik dengan fokus pada keluarga dan mendukung karier suami. Latar belakang pendidikan tinggi masing-masing menjadi modal utama sehingga nampak jelas bagaimana mereka menjalankan roda kehidupan dengan sistemik, terstruktur dan saling percaya. Lihatlah hasilnya, bukan saja karier Bapak Habibie yang sukses, juga anak-anak dan keluarga merasakan hal tersebut. Tidaklah kita dengar hal remeh temeh penuh intrik dan sensasi sebagaimana terjadi pada tokoh-tokoh yang lepas dari akar keutuhan rumah tangga mereka. Inilah teladan itu.
Meskipun kesempurnaan hidup dan harmonisasi kehidupan berkeluarga telah dicapai Bapak Habibie, namun kepergian selamanya seorang pasangan hidup, telah membuat jiwanya terbelah. Goncang. Ia tak mampu menahan kerinduan saat kehilangan separuh jiwanya yang lebih dahulu meningalkannya. Habibie seolah tak dapat dipisahkan dengan Ainun yang diikat oleh cinta yang murni, suci, sejati, sempurna dan abadi. Begitulah seorang Habibie memandang pasangan jiwanya hingga napas terakhirnya.
Secara pribadi, beginilah suri teladan yang boleh saya copy paste dan pelajari sebagai succes story. Saya sangat mengapresiasi model rumah tangga dan keluarga ala Bapak Habibie dan Ibu Ainun. Juga, meskipun buku ini telah melewati satu dekade, namun masih layak untuk dibaca dan diambil hikmahnya.
Akhirnya, Allah Swt mempertemukan mereka kembali, sepasang kakasih dunia akhirat yang boleh jadi telah berjumpa di alam barzah. Bapak Habibie telah menyatu dengan sang kekasih hati pada 11 September 2019. Rindu itu telah terobati. Bapak Habibie telah meninggalkan kita semua. Karyanya telah bermanfaat bagi orang banyak. Semoga anak cucu generasi penerus beliau mampu menjaga nama baik dan meneruskan cita-cita mulia orangtuanya. Amiin.